Menurut Bakri Siregar, seorang kritikus sastra Indonesia sosialis yang aktif dengan Lekra, Armijn dipengaruhi teori Sigmund Freud akan psikoanalisis; dia menulis bahwa hal ini paling menonjol dalam tokoh Sumartini.[8] Dua karya Armijn yang ditulis sebelumnya, "Barang Tiada Berharga" (1935) dan "Lupa" (1936), mempunyai aspek plot yang mirip dengan Belenggu. "Barang Tiada Berharga" juga mempunyai tokoh dokter dan istrinya, yaitu Pardi dan Haereni, yang digambarkan dengan watak yang mirip Sukartono dan Sumartini, sementara "Lupa" memperkenalkan tokoh utama Sukartono.[9] Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pembahasan politik dalam sastra, Armijn membatasi sindiran pada sistem kolonial dalm novel.[10]
novel belenggu karya armijn pane pdf 15
Belenggu sering menggunakan tanda elipsis dan monolog untuk mencerminkan konflik batin tokoh masing-masing, sehingga kritikus sastra Indonesia berasal Belanda A. Teeuw menyatakan bahwa novel ini adalah "monolog interior bercabang tiga".[11] Berbeda dari karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka, yang merupakan penerbit milik negara Hindia Belanda, Belenggu tidak menjelaskan semua aspek cerita; hanya aspek kunci dikemukakan, dengan aspek lain diisi sendiri oelh pembaca. Ini membuat pembacaan menjadi lebih aktif.[12]
Menurut Yapi, judul Belenggu mencerminkan konflik batin yang dihadapi semua tokoh utama, sehingga mereka terbatas dalam perilaku mereka. Yapi menunjuk pada klimaks novel sebagai contoh baik akan keterbatasan itu.[14] Menurut Siregar, hal ini didukung oleh dialog antara Siregar antara Hartono dan Sukartono, di mana mereka beranggapan bahwa manusia selalu dibelenggu oleh kenangannya akan masa lalu.[15]
Ketika Belenggu diterbitkan, ada dua jenis reaksi utama. Orang-orang yang suka novel ini menyatakan bahwa Belenggu sangat berani, sebab dia mampu membahas tema yang berdasarkan kenyataan sosial.[22] Misalkan, jurnalis S. K. Trimurti menulis bahwa buku ini benar-benar mencerminkan permasalahan yang dihadapi orang Indonesia berpendidikan tinggi saat menghadapi kebudayaan tradisional.[23] Sementara, orang-orang yang tidak suka Belenggu meremehkannya sebagai novel yang "porno", sebab ada tekanan pada perilaku tabu seperti perselingkuhan dan prostitusi.[22] Menurut Teeuw, resepsi ini dipengaruhi oleh sifat pembaca Indonesia, yang terbiasa membaca karya sastra yang diidealkan, menjadi syok atas kenyataan yang dicerminkan dalam Belenggu.[24]
Kritik-kritik yang lebih mutakhir cendurung lebih positif. H.B. Jassin menulis pada tahun 1967 bahwa, biarpun tokoh-tokoh bertindak sebagai karikatur, Belenggu mampu membuat pembaca termenung atas kenyataan sosial modern.[25] Pada tahun 1969 novel ini diberi penghargaan dari pemerintah Indonesia;[26] pada tahun yang sama, penulis dan kritikus sastra Ajip Rosidi menulis bahwa buku ini lebih menarik daripada karya-karya sebelumnya karena penyelesaiannya bersifat multi-tafsir.[25]
2ff7e9595c
Comentarios